Seorang muslim harus memegang prinsip loyalitas dan permusuhan, tidak boleh melalaikannya. Tolak ukur rasa cinta, loyalitas, dan bencinya adalah karena keimanan kepada Allah.
Prinsip loyalitas yaitu kedekatan dengan sesama kaum muslimin dalam rasa saling cinta dan menolong, serta kebersamaan dalam hal wilayah tempat tinggal.
Prinsip permusuhan yaitu pemutusan hubungan atau ikatan hati dari orang-orang kafir, sehingga tidak lagi mencintai dan membantu mereka, serta tidak tinggal bersama mereka.“Siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi rasa loyalitas karena Allah, dan memusuhi karena Allah, sesungguhnya kewalian Allah hanya dapat diperoleh dengan itu.” (Al Mu’jamul Kabir No 13.537)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia …“. (Q.S. Al Mumtahanah: 1)
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam beserta pengikutnya berlepas diri kaumnya yang kafir.
Abdullah bin Abdullah bin Ubay tetap benci dan tegas kepada orang munafik, walaupun itu ayahnya sendiri.
Ramlah, Istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, putri Abu Sufyan, tetap memusuhi ayahnya yang saat itu masih kafir.
Adapun terhadap seorang muslim namun pelaku maksiat, maka ia diberi sikap loyalitas, sekaligus permusuhan sesuai dengan kadar maksiatnya.
—
Pembaca mulia, di antara prinsip yang harus dipegang seorang muslim adalah masalah loyalitas (cinta yang disertai kepatuhan) dan permusuhan. Kepada siapa loyalitas kita berikan, dan kepada siapa pula rasa permusuhan kita tujukan? Ini merupakan masalah prinsip yang harus dipegang erat, tetapi mulai dilalaikan sebagian kaum muslimin di hari ini. Dalam pelajaran aqidah Islam, prinsip loyalitas dan permusuhan disebut dengan istilah al-wala’ wal bara’.
Apa itu Al-wala’ Wal bara’?
Al-Wala’ secara bahasa artinya adalah “dekat”. Adapun arti yang dimaksud dalam pelajaran aqidah adalah kedekatan sesama kaum muslimin dalam rasa saling cinta, cinta, saling bantu dan saling tolong di antara sesama mereka, serta kebersamaan mereka dalam hal wilayah tempat tinggal. Termasuk dalam hal ini adalah rasa kebersamaan mereka dalam melawan perbuatan makar musuh-musuh Islam.
Adapun Al-Bara’ secara bahasa artinya adalah “memutus” atau “memotong”. Maksud Al-Bara’ dalam pembahasan aqidah adalah pemutusan hubungan atau ikatan hati dari orang-orang kafir, sehingga tidak lagi mencintai, membantu dan menolong mereka serta tidak tinggal bersama mereka.
Kedudukan Al-wala’ Wal bara’ dalam Islam
Allah telah memerintah kita untuk memberikan loyalitas penuh kepada sesama saudara muslim. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah Ta’ala surat Al-Maidah ayat 56 yang artinya,
“…Barangsiapa menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya, sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.”
Di sisi lain, Allah juga memerintah kita untuk tidak menjadikan orang-orang kafir sebagai teman dekat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia …“. (Q.S. Al-Mumtahanah : 1).
Kesimpulannya, tolak ukur rasa cinta, loyalitas, dan benci adalah keimanan kepada Allah. Hal ini ditegaskan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Tali iman paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.”
Konsekuensi dari hal ini adalah loyalitas tidak kita berikan kepada seseorang, jika seseorang tersebut tidak beriman kepada Allah. Sebab timbulnya rasa permusuhan dan rasa benci kita kepada orang lain adalah karena kekafiran orang tersebut. Tidakkah kita perhatikan kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalamyang berlepas diri dari kaumnya karena kekafiran mereka?
Cermatilah kisah tersebut dalam surat Al-Mumtahanah ayat 4, (yang artinya) “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata permusuhan dan kebencian antara kami dan kalian untuk selama-lamanya, sampai kalian beriman kepada Allah saja’.”
Derajat Kemuliaan Seseorang Dapat Diraih, Jika Ia Memegang Teguh Prinsip Al-Wala’ Wal Bara’
Seseorang dapat mencapai kemuliaan yang besar di sisi Allah, yaitu Allah akan memberinya derajat kewalian, jika orang tersebut menerapkan prinsip loyalitas dan permusuhan secara benar. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits riwayat Abdullah bin Umar bin Al-Khaththab radhiyallaahu anhuma, “Siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi rasa loyalitas karena Allah, dan memusuhi karena Allah, sesungguhnya kewalian Allah hanya dapat diperoleh dengan itu.” (Al Mu’jamul Kabir No 13.537).
Renungilah Sikap Teladan Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul
Allah Ta’ala berfirman, menceritakan orang munafik yang berkata,
“Sesungguhnya jika kita telah kembali ke kota Madinah, al-a’azzu (orang yang kuat) benar-benar akan mengusir al-adzallu (orang yang lemah) dari kota tersebut.” (Al-Munafiqun: 8).
Orang munafik yang mengatakan demikian adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Dia menganggap al-a’azzu (orang yang kuat) adalah dirinya, sedangkan al-adzallu (yang lemah) adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengancam akan mengusir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Madinah.
Ketika keinginan Abdullah bin Ubay itu didengar oleh anaknya sendiri yang bernama Abdullah, seorang mukmin yang taat dan jujur, apalagi dia juga mendengar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin membunuh Abdullah bin Ubay yang mengucapkan kata-kata penghinaan tersebut, juga kata-kata lainnya, seketika itu pula Abdullah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya mendengar bahwa Anda ingin membunuh Abdullah bin Ubay, ayah saya. Jika Anda benar-benar ingin melakukannya, saya bersedia membawa kepalanya kepada Anda”. Maka, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bahkan, kita akan bergaul dan bersikap baik kepadanya selama dia tinggal bersama kita.”
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat kembali pulang ke Madinah, Abdullah (yang salih) putra Abdullah bin Ubay (yang munafik) berdiri menghadang ayahnya di pintu kota Madinah dengan menghunus pedangnya. Orang-orang pun berjalan melewatinya.
Ketika ayahnya lewat, Abdullah berkata kepada ayahnya, “Mundur!”. Ayahnya bertanya keheranan, “Ada apa ini, jangan kurang ajar kamu!”. Abdullah menjawab, “Demi Allah, jangan melewati tempat ini sebelum Rasulullah mengizinkanmu, karena beliau adalah al-aziz (yang mulia) dan engkau adalah adz-dzalil (yang hina).”
Maka, ketika Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam datang padahal beliau berada di pasukan bagian belakang, Abdullah bin Ubay mengadukan anaknya kepada beliau. Anaknya, Abdullah berkata, “Demi Allah, wahai Rasulullah, dia tidak boleh memasuki kota sebelum Anda mengizinkannya.”
Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengizinkannya. Kemudian Abdullah berkata, “Karena Rasulullah telah mengizinkan, lewatlah sekarang!”.
Renungilah Pula Sikap Teladan Ramlah Ummu Habibah
Ramlah (salah satu istri Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, yang nama kunyahnya adalah Ummu Habibah), adalah putri Abu Sufyan, pembesar Quraisy yang ketika itu masih kafir. Ketika Abu Sufyan datang ke Madinah untuk memperbaharui perjanjian gencatan senjata dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam, ia menyempatkan diri untuk mengunjungi putrinya yang sudah masuk Islam.
Ketika ia datang ke tempat Ramlah dan ingin duduk di atas kasur Nabi, Ramlah dengan segera melipatnya agar tidak diduduki Abu Sufyan. Melihat hal itu, Abu Sufyan pun berkata, “Aku tidak boleh duduk di atas kasur ini atau kasur itu yang tidak pantas untukku?” Ramlah pun menjawab, “Itu adalah kasur Rasulullah, sedangkan ayah adalah seorang yang najis lagi musyrik.” (Ushudul Ghabah Hal 1533).
—
Dari kisah kedua shahabat nabi di atas, yaitu Abdullah dan Ramlah, kita bisa mengambil pelajaran bahwa tolak ukur pemberian loyalitas dan rasa cinta hanya diberikan kepada orang yang telah beriman kepada Allah dan rasul-Nya, bukan kepada orang-orang kafir, meskipun itu adalah anggota keluarga kita, meskipun itu adalah ayah ibu kita. Agar lebih meyakinkan hati pembaca, perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut ini (yang artinya),
“Kamu tidak akan temui suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir akan saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya meskipun para penentang itu adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, atau keluarga mereka sendiri…” (Q.S. Al-Mujaadilah: 22).
Lalu, Bagaimana dengan Ahli Maksiat?
Pembaca mulia, lantas bagaimana kita menyikapi seorang muslim yang banyak bermaksiat?
Jawaban pertanyaan di atas adalah bahwa pada orang tersebut terdapat hak muwalah (diberi sikap loyalitas dari kita) sekaligus mu’adah (diberikan sikap permusuhan dari kita), sesuai dengan kadar maksiatnya. Dia disayangi karena imannya, dan dimusuhi karena kemaksiatannya, dengan tetap memberikan nasihat untuknya, memerintahnya pada kebaikan, melarangnya dari kemungkaran. Bahkan, kalau perlu mengucilkannya apabila pengucilan itu dapat membuatnya jera dan malu.
Hal ini sebagaimana yang dikatakan Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Apabila berkumpul pada diri seseorang kebaikan dan kejahatan, ketakutan dan kemaksiatan, atau sunnah dan bid’ah, orang tersebut berhak mendapatkan permusuhan dan siksa sesuai dengan kadar kejahatan yang ada padanya.” (Majmu’ Fatawa).
—
Demikian pemaparan ringkas mengenai prinsip Al-Wala’ wal Bara’ (loyalitas dan permusuhan) yang harus diketahui setiap muslim. Mudah-mudahan kita dapat menempatkan rasa loyalitas pada orang yang tepat, dan dapat pula memberikan rasa permusuhan pada orang yang tepat pula, serta dapat memberikan sikap yang benar kepada para ahli maksiat sesuai kadar kemaksiatannya. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimush shaalihaat.
Ditulis oleh Ustaz Ginanjar Indrajati Bintoro, dengan penyesuaian artikel Buletin At-Tauhid edisi VI/49.